Selasa, 29 November 2011

Hujan dan Sepeda

"Kalau hujan, gimana?" Pertanyaan itu sering dilontarkan orang-orang (teman, pemilik warung makan kaki lima, tukang roti bakar, dll) sehubungan dengan kegemaran saya bersepeda ke kantor. Malah, si pemilik warung makan pernah bertanya, "Emang enggak sakit naik sepeda hujan-hujanan?"


Untuk pertanyaan pertama, saya menjawab, "Kalau hujan, ya hujan-hujanan." Pertanyaan kedua, saya jawab singkat, "Enggak," sambil menghirup uap hangat yang mengepul dari secangkir susu jahe panas.


Meskipun dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di sekolah saya diajari bagaimana proses hujan terjadi, saya tidak pernah benar-benar menyaksikannya dari awal hingga akhir (air menguap dari laut, danau, dan sungai; tertiup angin; dan seterusnya). Oleh karena itu, bagi saya hujan tetaplah keajaiban yang berada di luar kendali. Saya terlalu kecil untuk mencegah atau membatalkan hujan yang ajaib. Jadi, saya hanya mempunyai dua pilihan: menghindari atau menikmati hujan.


Ingatan pun kembali ke masa-masa kecil. Ketika itu, salah satu larangan yang paling tidak saya sukai berbunyi, "Jangan hujan-hujanan!" Maksud orangtua saya tentu baik. Mereka tidak ingin saya sakit atau paling apes mati gosong tersambar petir. Tapi, adakah kesenangan masa kecil yang melebihi serunya hujan-hujanan? Sambil curi-curi kesempatan, hujan-hujanan tetap dilakukan sambil main bola, sepeda, atau kucing-kucingan. Cipratan air bercampur lumpur diiringi tawa riang teman-teman menjadi bumbu yang membuat saya melupakan kotor, basah, dan sakit.


Kini, saya menemukan kembali kesenangan masa kecil itu. Secara rutin, seminggu tiga kali saya bersepeda ke kantor dengan jarak kira-kira 30 kilometer pulang pergi. Sepanjang bulan November, hampir setiap dua hari sekali saya bercengkerama dengan hujan dan genangan air.


Di Bandung, sepertinya jadwal hujan sudah diatur sedemikian rupa agar bertepatan dengan jam pulang kerja. Tapi, itu tidak masalah karena saya senang bersepeda dan saya senang hujan-hujanan. Jika keduanya digabungkan, saya pun jadi bersenang-senang. Satu hal yang pasti, saya tidak pernah bersepeda dengan muka cemberut meskipun kadang saya harus berbagi cipratan air dengan pengemudi mobil dan pengendara sepeda motor. Sesungguhnya tidak benar-benar berbagi karena cipratan yang dihasilkan sepeda lebih sedikit dan saya benar-benar basah sementara mereka tidak. Namun, itu tetap menyenangkan dan saya tersenyum. Tidak ada ruang untuk merasa jengkel saat jantung dan paru-paru bekerja sama memompa darah dan udara yang terasa lebih segar ketika hujan.


Tentu saja, tiap-tiap orang memiliki daya tahan tubuh berbeda. Oleh karena itu, saya bersyukur selama ini dikaruniai kesehatan sehingga bisa menikmati hujan sambil mengayuh sepeda. Terkadang juga hujan tampak tak ramah karena turun dengan derasnya disertai angin kencang dan petir menyambar. Saya pribadi menganggapnya sebagai pengingat untuk menepi dan bersilaturahim dengan pemilik warung kopi, mie rebus, ketan bakar, atau makanan enak khas pinggir jalan lain yang sering luput dari perhatian saat menggunakan kendaraan bermotor karena terburu-buru atau emosi kita tersita oleh kemacetan.


Ah, musim hujan sepertinya masih panjang. Saya bisa memilih mengeluh setiap kali hujan turun, tapi saya lebih suka menikmatinya sambil mengayuh sepeda.



Hujan-hujanan yuk!

Bandung, 29 November 2011

Moh. Sidik Nugraha