"Yah rese deh... kena lampu merah lagi...!"Benar juga. Belum dua menit yang lalu kena lampu merah, kini aku lagi-lagi harus menginjak rem motor dalam-dalam untuk menyambut si bohlam bulat merah di depan. Desah kesal bercampur "gerundel" kecil menghiasi telingaku saat ini. Apalagi saat kulihat beberapa motor dengan enaknya melanjutkan perjalanan, mentang-mentang tak ada polisi berjaga di sana. Maju.... enggak ah.. maju... ah enggak jadi ah.... ah maju aahh.... eh kendaraan dari sisi kanan sudah melaju... Telat !!! Aihh... masa mesti melabas lampu merah lagi.... hehe... Sambil melihat-lihat ulah anak-anak kecil penjaja suara menunggu receh diulurkan dari para pengendara 2 buah mobil didepanku, pandanganku tertumbuk pada sesosok bapak yang menjajakan sebuah gambar berukuran sedang dan sebuah hiasan meja. Oh! Gambar berpigura yang diapit tangan kanan itu ternyata gambar Yesus, dan hiasan meja yang digenggam oleh tangan kiri adalah salib. Ah.. biasa saja. Mau jual apapun, itu hak siapa saja. Aku tak ambil pusing. Rasa kagetku muncul saat melihat hiasan kepala yang digunakan si bapak penjaja itu.... Dia memakai pici haji !! Loh... kok... gimana sih... apa maksudnya? Ahah... si bapak kini mendekati aku... Kesempatan berburu informasi nih! Kubuka helm yang sedari tadi melindungi kepalaku dengan setia, dan memegangnya dengan tangan kiri. Tangan kanan kini sibuk menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tak begitu gatal. Aku penasaran betul, ingin berbicara barang sedikit dengan bapak itu."Malem Pak.... wah... malam-malam begini, masih jualan juga Pak? Belum pulang?" tanyaku sambil tak lupa mengulum senyum manis ... *taelaa* "Oh, hehe... belum mas....", jawab si bapak tak kalah ramah. Usianya belum terlalu tua, walau tak bisa dibilang muda juga. "Biasanya bapak pulang jam 11-an". Kulongok jam tanganku, oh... sekarang baru jam 10 malam."Dagangannya laku berapa Pak hari ini?". Aku kembali bertanya, sambil melihat-lihat pigura bergambar Yesus dan hiasan salib keramik yang dibawanya.Si Bapak menjawab sambil mengangkat sedikit salib keramik itu. "Yah... yang salib sih laku 1 biji. Yang gambar ini... belum laku mas. Mas mau beli?"Aku tersenyum getir... walau tetap berusaha tampil manis. "Hehe... saya... saya muslim Pak. Maaf yah...""Oh.. mas muslim thoo... Waduh saya yang minta maaf nih..." Hihi.. si bapak jadi salah tingkah begitu.."Nggak apa-apa Pak. Ohya Pak.... mm.. maaf nih sebelumnya... Bapak... pakai pici haji tuh... bapak muslim juga kah? Maaf sebelumnya looo Paak....""Oh, mas perhatian juga rupanya. Mm.. iya, saya muslim."Heh? Bener dugaanku. Wah... Ada yang nggak bener negh..."Bapak muslim? Lalu... mm... kenapa bapak jualan beginian?" tanyaku dengan hati-hati."Ya.. sebenarnya bapak juga ndak suka, mas. Makanya bapak tetap memakai pici haji.""Lho.. klo ndak suka, kenapa tetap jualan Pak?""Ya.. mas pasti tahu lah.... biasa mas... urusan perut...". jawab si bapak.I knew it !! Kulihat raut wajahnya kini agak "mendem". Waduh, jadi gak enak nih...."Trus Pak... tadi bapak bilang, hari ini baru laku 1 biji, yang salib itu tuh. Trus berapa untungnya? Apa cukup keuntungan 1 dagangan itu untuk kebutuhan sehari, Pak?"Si bapak bergeser, pindah posisi ke bagian depan motorku. Ia memandangi hiasan salib keramik itu beberapa detik."Mm... sebenarnya, laku nggak laku, nggak jadi soal mas.""Nggak jadi soal bagaimana pak?""Ya.. setiap hari, asal saya mau menjajakan ini, laku nggak laku, saya dikasih 25 ribu rupiah per hari. Kalau dagangannya laku, semua uangnya ya buat saya... Tiap hari ada yang ngasih uang ke saya. Klo dagangannya habis, saya dikasih lagi. Begitu terus mas...."DEZIIGHH!!! Aku bener-bener kaget sekarang. Masya Allah.... astaghfirullah.... Aku kini terdiam."Ya gimana ya mas... Klo ada yang bisa ngasih pekerjaan yang baik, yang layak, saya udah pasti ndak mau jalanin ini, mas. Tapi gimana lagi... mau dikasih makan apa anak istri saya mas... Saya tahu ini nggak halal, saya juga tahu ini uang nggak baek, karena bisa jadi, saya ngegadain agama saya, mas. Tapi... ya itulah mas... klo gak begini... kami sekeluarga makan apa....."Aku masih terdiam. Aku sampai tak sadar, bahwa mesin motorku mati, kalau saja bapak itu tidak mengingatkan."Tapi mas boleh percaya, saya tetap muslim mas, gusti Allah tetep Tuhan saya. Kalau ada kerjaan yang lebih baik dan hasilnya cukup untuk keluarga, saya pasti gak jualan beginian mas... percaya mas...""Iya Pak. Mm.. apa bapak belum pernah coba jualan yang lainnya, gitu?""Iya, pernah...jualan koran, makanan kecil dan rokok, tapi hasilnya gak cukup mas, boro-boro sisa, buat makan aja kurang, lebih-lebih bayar biaya sekolah anak .... jauh lah ama yg sekarang ini mas....".TIINN!! TIIN !! Pengemudi mobil di belakang sudah membunyikan klakson dan menyalakan lampu dimnya. Kulihat ke depan, ternyata lampu merah sudah padam, berganti hijau, entah sejak kapan, sampai kendaraan di belakang saya ngomel-ngomel."Oke pak... makasih banyak yah Pak.... maaf sebelumnya. Assalamu'alaykum!" Tak sempat menunggu jawaban si bapak, aku bergegas menarik gas motorku, melewati perempatan pramuka yang saat itu sudah mulai sepi.Sepanjang perjalanan Rawasari - Sumur Batu, aku betul-betul gundah. Kurang ajar misionaris itu !! Kampungan banget seh cara yang mereka tempuh !! Umpatan demi umpatan silih berganti memenuhi relung hatiku saat itu. Tapi mendadak aku tersadar. Hey... ini bukan salah misionaris itu ! Mereka hanya memanfaatkan situasi yang ada ! Situasi dimana umat Islam kini sudah betul-betul lemah dalam hal ekonomi. Situasi di mana umat Islam tak lagi peduli pada saudara seagamanya yang dhu'afa. Situasi di mana Rasululah pernah ungkapkan 14 abad silam, bahwa umat Islam yang mayoritas, tak ubahnya seperti buih di lautan. Tak berkekuatan. Tak berwibawa. Tak bergigi. Tak berpengaruh. Antara ada-tiada. Innaa lillaah...Apa yang bisa aku lakukan? Apa yang bisa aku sumbangkan? Apa yang bisa aku bantu? Lagi-lagi berondongan pertanyaan menghujani pikiranku. Ahh... pusing...Hari itu aku tidur dengan suasana hati yang sedikit tak enak. Tapi toh akhirnya tertidur juga.Peristiwa itu ternyata betul-betul terlupakan... sampai tadi aku menyaksikan acara di sebuah televisi swasta, yang menayangkan profil kaum dhu'afa, seorang bapak penjual kerupuk. Mendadak aku teringat pada si bapak penjual hiasan di perempatan Pramuka. Apa kabarnya sekarang? Apakah di bulan Ramadhan ini beliau tetap berjualan seperti biasanya? Ah... ingin rasanya memacu motor bebekku menemuinya. Tapi hm... sudah malam. Bapak itu berjualan sampai jam 11 malam. Sekarang sudah hampir jam 11.30 malam.Ya Allah, semoga ini adalah teguran darimu, betapa kesadaran kami akan pentingnya saling tolong menolong pada sesama saudara segama, masih belum terpatri dengan baik, masih belum menjadi hiasan akhlak kami dalam menapaki hidup ini. Ya Rabb, berikanlah kami kekuatan, karuniakanlah kami kesadaran, sinarilah hati kami dengan pancaran kasih dan sayangMu, sehingga kami bisa berusaha semaksimal mungkin menyayangi dan mengasihi sesama kami. Ya Rahmaan, yaa Rahiim. Di luar sana banyak saudara-saudara kami yangmendapatkan nafkah melalui cara yang mungkin tidak Engkau ridhai, karena kondisi yang memaksa mereka. Berilah mereka ampunan, berilah mereka hidayah, maafkanlah ketidaktahuan mereka, ya Rabb. Tuntunlah mereka menuju jalan yang Engkau ridhai, dan tuntunlah kami untuk membantu mereka.....Aamiin....(no name)